Powered By Blogger

Artikel-artikel yang dikirim ke email moderator langsung diluncurkan ke dalam blogsite tanpa dilakukan pengeditan kembali. Silahkan bagi semua anggota yang akan mengirimkan artikelnya sudah dalam bentuk yang terbaik. Untuk komentar atas artikel, telah disediakan link komentar yang berada di akhir artikel. Untuk pengiriman artikel diharapkan melalui email: hafidz_smartillah@yahoo.com. Terima kasih.

18 Agustus 2008

Demokrasi dalam Pilkada

Pernah dimuat Oleh Koran Seputar-Indonesia 1 Desember 2007


Oleh: Asrinaldi A


SEJAK pemilihan kepala daerah (pilkada) dua tahun lalu,masyarakat daerah mulai merasakan praktik demokrasi langsung di tingkat lokal. Pilkada telah menjadi sarana pergantian kepemimpinan daerah yang sesuai dengan harapan masyarakat.


Namun, apa jadinya ketika pemimpin yang dipilih itu kalah? Sedihnya, ketika figur pemimpin yang dipilih oleh sebagian kelompok masyarakat kalah,kerusuhan kerap merebak. Begitulah praktik pilkada yang baru dilaksanakan di Maluku Utara dan Sulawesi Selatan. Dinamika demokrasi lokal yang mulai tumbuh berubah seketika menjadi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok massa pendukung pasangan kepala daerah. Mengapa ini bisa terjadi?


Paling tidak ada dua alasan. Pertama, kekerasan berlatar belakang politik dapat terjadi karena tidak sesuainya kenyataan dan harapan masyarakat terhadap hasil pilkada.Sekelompok masyarakat mengharapkan figur pemimpinnya menjadi pemenang dalam pilkada. Namun, dalam kenyataannya pasangan kepala daerah yang menjadi figur pemimpin tersebut kalah. TR Gurr (1970) dalam Why Men Rebel menjelaskan adanya ketimpangan antara nilai harapan dan kenyataan ini dapat menyebabkan terjadinya rasa kecewa yang mendalam dari sekelompok massa.Rasa kecewa itu dapat mendorong lahirnya kerusuhan, bahkan revolusi.


Inilah yang disebutnya sebagai deprivasi relatif. Kedua, kerusuhan itu terjadi karena adanya manipulasi nilai politik yang dilakukan oleh sekelompok elite terhadap massa pendukungnya. Manipulasi nilai politik tersebut diikuti oleh mobilisasi massa yang melahirkan tindakan kekerasan dan anarkisme. Kelompok elite yang kalah berusaha membakar emosi pendukungnya untuk menolak hasil pemilihan yang dianggap curang dan tidak prosedural. Kelompok elite politik memanfaatkan betul ketidaktahuan massa pendukungnya sehingga mudah digerakkan untuk bertindak sesuai yang diinginkan. Jelas tindakan kelompok elite dan massa pendukungnya ini bertentangan dengan kepatutan dalam berdemokrasi sehingga tindakan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk pembangkangan sipil (civil disobedience).


Budaya Demokrasi


Kerusuhan massa yang kerap kali muncul di daerah merupakan gambaran belum berkembangnya budaya demokrasi di masyarakat kita. Praktik demokrasi memerlukan adanya kesadaran pelakunya untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan yang terjadi. Selain itu, demokrasi yang ingin dikembangkan sebagai bahagian cita-cita reformasi memerlukan kedewasaan politik individu terutama dalam kompetisi memperebutkan kekuasaan. Tampaknya ini yang belum tumbuh dari dalam diri elite politik kita.


Semangat kompetisi merebut kekuasaan tidak didasarkan pada ketaatan terhadap aturan dan mekanisme yang sudah disepakati bersama. Kecenderungan ini dapat dibuktikan dalam pelaksanaan pilkada,betapa elite politik yang ikut bertanding belum dapat menerima kekalahan dalam kompetisi kekuasaan tersebut. Sesuai dengan prosedur demokrasi di tingkat lokal, pilkada merupakan salah satu mekanisme rotasi kepemimpinan yang sesuai semangat reformasi. Seluruh aturan yang dibuat disesuaikan dengan keinginan masyarakat.


Adalah menjadi aneh ketika dalam kompetisi memperebutkan kekuasaan yang mengharuskan adanya menang dan kalah, sekelompok orang tidak dapat menerima lalu melakukan teror dan aksi kekerasan.Walaupun ada ketidakpuasan akibat kekalahan dalam pilkada, praktik demokrasi mempunyai mekanisme untuk menyatakan ketidakpuasan tersebut seperti menempuh upaya hukum di pengadilan. Belum tumbuhnya budaya demokrasi di tingkat lokal juga disebabkan belum munculnya komunitas politik dalam kehidupan masyarakat kita.


Keterkungkungan politik yang dialami masyarakat selama rezim Orde Baru berkuasa berdampak pada terwujudnya komunitas politik ini. Padahal, komunitas politik merupakan prasyarat utama demokrasi dapat dilaksanakan dengan baik. Pembentukan komunitas politik ini dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan oleh pemerintah serta teladan yang ditunjukkan oleh elite politik.


Namun amat disayangkan baik peraturan yang dibuat dan perilaku elite politik belum sepenuhnya mendorong tumbuhnya komunitas politik yang sehat untuk berdemokrasi. Peraturan yang dibuat dan perilaku yang ditampilkan oleh elite politik semata-mata berorientasi pada usaha mempertahankan kekuasaan.


Antisipasi Kekerasan


Jika budaya demokrasi berkembang, maka kerusuhan yang melibatkan massa pendukung dalam sebuah pilkada dengan sendirinya dapat dicegah.Apalagi, kerusuhan yang disebabkan oleh deprivasi relatif sebenarnya dapat dicegah dengan memberikan pemahaman tentang nilai demokrasi. Ini karena kerusuhan akibat deprivasi relatif memiliki motivasi yang bersifat ideologis. Kelompok ini memiliki pemahaman yang sangat mendasar terhadap nilai politik.


Dengan demikian, yang diperlukan hanya penguatan nilai ideologi mereka sehingga tidak berkembang menjadi kekecewaan yang mudah dipolitisasi ke arah aksi kekerasan. Penguatan nilai ideologi bagi kelompok ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan sosialisasi aturan dan proses pilkada sebelum dilaksanakan. Melalui cara ini masyarakat akan memahami bahwa pilkada hanya sebuah proses transisi kepemimpinan lokal yang harus dilakukan secara periodik dan damai.


Cara antisipasi seperti ini sulit dilakukan bagi kelompok massa yang tidak memiliki pemahaman terhadap nilainilai politik. Kelompok ini melakukan kerusuhan karena dimobilisasi oleh elite politik yang kalah dalam pilkada. Proses manipulasi nilai politik yang dilakukan kelompok elite tertentu mendorong munculnya kekerasan. Hanya dengan cara menegakkan hukum dan keadilan, maka aksi kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu dapat diantisipasi.Walaupun begitu, banyak kasus kerusuhan pilkada yang tidak pernah dituntaskan melalui proses pengadilan. Akibatnya, kecenderungan ini menjadi preseden buruk bagi daerah lain yang akan melaksanakan pilkada. Memang tidak mudah menumbuhkan budaya demokrasi yang sesuai dengan harapan semua pihak.Apalagi menumbuhkan budaya demokrasi harus diikuti oleh sikap bijaksana semua pelaku politik dan sepertinya pelaku politik di negeri ini masih harus belajar kembali cara berdemokrasi yang baik sebelum pilkada dilaksanakan.(*)

Tidak ada komentar: