Powered By Blogger

Artikel-artikel yang dikirim ke email moderator langsung diluncurkan ke dalam blogsite tanpa dilakukan pengeditan kembali. Silahkan bagi semua anggota yang akan mengirimkan artikelnya sudah dalam bentuk yang terbaik. Untuk komentar atas artikel, telah disediakan link komentar yang berada di akhir artikel. Untuk pengiriman artikel diharapkan melalui email: hafidz_smartillah@yahoo.com. Terima kasih.

14 Agustus 2008

Benarkah Gubernur Wakil Pemerintah di Daerah?

Oleh: Asrinaldi A

Pernah Dimuat Koran Padang Ekspres 16 Juni 2008


Komitmen pemerintah pusat menyelenggarakan otonomi daerah kembali dipertanyakan oleh Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Masalahnya hingga saat ini pemerintah belum juga menerbitkan peraturan pemerintah terkait dengan kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Akibatnya gubernur pun tidak mengetahui apa yang menjadi tugas dan kewenangannya di daerah. Inilah yang dikeluhkan Ketua APPSI, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi, akhir Maret lalu ketika diselenggarakannya lokakarya nasional APPSI di Jakarta.



Dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 dijelaskan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah memiliki fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi urusan pemerintahan di daerah serta tugas pembantuan. Namun penjabaran lebih lanjut apa yang mesti dibina, diawasi dan dikoordinasikan atau bagaimana mekanismenya belum diatur secara jelas oleh pemerintah pusat.
Bahkan pemerintah pusat belum memandang serius implikasi belum diterbitkannya peraturan pemerintah yang mengatur kewenangan ini. Padahal pemerintah pusat memiliki peran yang strategis melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap daerah sehingga tujuan otonomi dapat diwujudkan. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila pemerintah pusat dapat memaksimalkan peran gubernur sebagai wakilnya di daerah.



Arti Penting



Terbitnya UU No. 32 tahun 2004 merupakan upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap UU No.22 tahun 1999. Beberapa kelemahan dalam UU No. 22 tahun 1999 memiliki implikasi negatif terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Salah satunya adalah “tidak dihormatinya” kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Kecenderungan “tidak dihormatinya” kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah ini disebabkan oleh dua hal.



Pertama, karena UU No.22 tahun 1999 menegaskan titik berat pelaksanaan otonomi daerah ada di kabupaten dan kota. Kedua, karena UU tersebut juga menegaskan tidak adanya hubungan hierarki antara pemerintah provinsi dengan kabupaten dan kota. Sayangnya tafsiran UU ini pun dilakukan secara tekstual sehingga para penguasa di kabupaten dan kota menafikan kedudukan gubernur ini. Akibatnya jalannya pemerintah daerah tidak sesuai dengan apa yang diharapkan banyak pihak.



Kehadiran UU No. 32 tahun 2004 menggantikan UU No.22 tahun 1999 telah mengubah cara pandang daerah kabupaten dan kota terhadap provinsi. Ini karena kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah telah diatur kembali dalam pelaksanaan otonomi daerah itu. Ini jelas membawa keuntungan bagi pemerintah pusat terutama dalam mengendalikan pelaksanaan otonomi daerah yang sebelum ini dianggap bermasalah. Paling tidak ini dapat dilihat dari pasal-pasal dalam UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur adanya kewenangan gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan di daerah walaupun belum diatur lebih lanjut. Namun amat disesalkan pemerintah masih belum membuat pengaturan lebih lanjut terkait dengan tugas dan kewenangan gubernur tersebut.



Sebenarnya keuntungan diterbitkannya peraturan pemerintah ini dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, dilihat dari sisi pemerintah, yaitu keterbatasan pemerintah dalam membina dan mengawasi pelaksanaan otonomi daerah mengharuskan adanya institusi lain yang bisa melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Sesuai dengan aturannya, maka gubernur sebagai bagian kekuasaan pemerintah di daerah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintah di daerah.



Jika pemerintah pusat dapat merinci tugas dan kewenangan gubernur sebagai wakilnya di daerah, maka kedudukan pemerintah pusat akan semakin kuat terutama di daerah. Tidak adanya peraturan pemerintah yang jelas berkaitan dengan tugas dan kewenangan gubernur di daerah mempengaruhi kemampuan pemerintah mengekstraksi sumber dayanya terutama untuk dialokasikan kembali pada masyarakat. Akibatnya kesejahteraan masyarakat menurun dan pada akhirnya legitimasi pemerintah bisa dipermasalahkan oleh masyarakatnya.


Kedua, adanya peraturan pemerintah ini sebenarnya membawa keuntungan pula bagi pemerintah provinsi untuk memastikan batasan kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Ini karena secara personal gubernur juga adalah kepala daerah yang memiliki tanggung jawab kepada masyarakat daerah. Dengan diterbitkannya peraturan pemerintah ini, gubernur baik sebagai wakil pemerintah maupun sebagai kepala daerah dapat membedakan peran dan fungsi yang harus dilakukannya. Tidak adanya peraturan pemerintah mengatur tugas dan kewenangan gubernur ini, malah menggambarkan adanya ketidaksiapan pemerintah pusat menyerahkan kekuasaannya kepada daerah.



Ketiga, dengan adanya pengaturan tugas dan kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah juga membawa keuntungan bagi pemerintah kabupaten dan kota. Salah satunya bisa dilihat dari keyakinan pemerintah kabupaten dan kota untuk melaksanakan pembangunan lintas daerah melalui kerjasama yang dibangun dengan daerah lain. Ini jelas merupakan kewenangan gubernur untuk mengkoordinasikan pelaksanaan pembangunan tersebut sehingga membawa keuntungan bagi pihak yang terlibat. Dapat dibayangkan jika tugas dan kewenangan gubernur ini belum dijabarkan secara terperinci, maka yang akan terjadi keraguan melaksanakan urusan pemerintahan di daerah. Apalagi daerah provinsi sebagai daerah otonom juga memiliki urusan pemerintahan wajib dan pilihan yang harus dikerjakan.


Bagaimanapun pemerintah harus konsisten melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan UU yang berlaku. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah harus dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah pusat sebab terbatas kemampuannya untuk menjangkau daerah. Oleh karena itu memberdayakan gubernur sebagai wakilnya di daerah menjadi strategi yang tepat. Namun karena belum adanya pengaturan yang jelas terhadap masalah ini patut dipertanyakan benarkah gubernur wakil pemerintah di daerah? (***)


Tidak ada komentar: